Pages

Jumat, Juni 13, 2014

MENGENAL AGAMA ISLAM

Secara kebahasaan, Islam terambil dari kata sin-lam-mim yang membentuk kata salama yang berarti selamat. Sehingga, menjadi seorang muslim adalah seseorang yang mencari jalan keselamatan. Ketiga huruf di atas juga bisa dibaca silm atau salm yang mempunyai arti perdamaian dan keamanan. Maka, bisa juga dikatakan bahwa seorang muslim adalah orang yang selalu mencari perdamaian dan suka berdamai, karena dengan perdamaianlah akan tercipta suasana dan lingkungan yang aman.
Dari akar kata tersebut, terambil pula kata aslama yang dalam bentuk asalnya (masdar) terambil kata islām sebagai nama dari agama Samawi terakhir yang diturunkan Allah swt. Kata yang terakhir ini berarti ketundukan, patuh, dan penyerahan diri.
Oleh sebab itu, Islam adalah penyerahan. Muslim adalah orang yang menyerah. Penyerahan di sini adalah tidak hanya sekadar penyerahan fisik, tetapi seluruh totalitas jiwa dan raga menyerah dan tunduk patuh kepada Allah swt. Karena, keislaman dan keimanan menuntut pembenaran hati, pengakuan dengan lidah, serta aktivitas anggota tubuh yang menandai kepatuhan dan ketundukan kepada Allah swt.

Ketundukan Seluruh Makhluk
Menjadi seorang muslim adalah menjadi manusia yang mengikuti gerak alam raya. Karena, pada dasarnya semua makhluk dari semua jenis dan spesies, baik yang mati maupun yang hidup, yang ada di langit dan di bumi, tunduk dan patuh kepada Sang Maha Pencipta, baik itu dilakukan dengan senang hati maupun terpaksa. Dengan kata lain, menjadi seorang muslim adalah menjadi orang yang bersama-sama dengan makhluk lain melakukan penyerahan dan ketundukan kepada Allah swt.
Allah swt berfirman dalam Al-Quran,
Artinya, “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 83).
Karena itu, maka orang-orang yang mencari agama (jalan hidup) selain agama Islam, dalam ajaran dan keyakinan umat ini tidak akan diterima. Hal ini ditegaskan melalui ayat 85 berikutnya di dalam surah yang sama.
Artinya, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 85).
Di atas telah dijelaskan bahwa keislaman seseorang menuntut adanya pembenaran hati dan pengucapan lisan serta dimanifestasikan dalam tindakan nyata. Para ulama sering mengaitkan ajaran ini dengan sebuah hadis Rasulullah saw tentang Malaikat Jibril as yang datang kepada Rasulullah saw untuk mengajarkan umat tentang arti Islam, Iman, dan Ihsan. Hadis itu menjadi fondasi bagi ajaran Rukun Islam (ada 5 hal), Rukun Iman (ada 6 hal), dan Ihsan.
Tidak dikatakan beriman seseorang yang hanya meyakini adanya Allah, karena keimanannya harus diungkapkan melalui pengakuan lisannya. Dan, tidak cukup keimanan berhenti disitu, maka harus dibuktikan dengan amal perbuatan.
Iman yang sesungguhnya ialah kepercayaan yang terhujam di kedalaman hati dengan penuh keyakinan, tak ada perasaan syak dan ragu-ragu, serta memengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas kesehariannya. Jadi, tidak bisa dikatakan sebagai iman, jika sekadar amal perbuatan dan sebatas pengetahuan mengenai Rukun Iman.
Iman bukan sekadar ucapan lisan seseorang bahwa dirinya adalah orang mukmin. Sebab, orang-orang munafik pun dengan lisannya menyatakan hal yang sama, namun hatinya mengingkari apa yang dinyatakan itu. Mengenai hal itu, Allah swt berfirman,
Artinya, “Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami telah beriman kepada Allah dan hari Kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang mukmin. Mereka bermaksud dengan sungguh-sungguh menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar” (QS. al-Baqarah [2]: 8-9).
Iman juga bukan sekadar amal perbuatan an sich yang secara lahiriah merupakan ciri khas perbuatan orang-orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun tak sedikit yang secara lahiriah mengerjakan amal ibadah dan berbuat baik, sementara hati mereka bertolak belakang dengan perbuatan lahirnya, apa yang dikerjakan bukan didasari keikhlasan mencari rida Allah swt. Hal ini seperti yang telah diinformasikan oleh Allah swt,
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Dia pun membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka ria di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. an-Nisâ’ [4]: 142).
Demikian juga iman bukan sekadar pengetahuan akan makna dan hakikat iman. Sebab tak sedikit orang yang mengetahui hakikat iman, akan tetapi mereka tetap ingkar. Allah swt berfirman,
Artinya, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan” (QS. an-Naml [27]: 14);
      Artinya, “... dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan     kebenaran, padahal mereka mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 146).

Kisah Iblis
Pada hakikatnya, iblis sangat mengenal Allah serta mengakui keesaan-Nya. Sebelum pembangkangannya, ia digelari "Burung Merak Malaikat" karena ketekunannya bersujud kepada Allah swt. Nalarnya mengakui keesaan-Nya. Ia mengakui keniscayaan Kiamat. Tetapi, ketika ia diperintah sujud kepada Adam as, hatinya menolak. Ketika itu, ia tidak lagi dinamai muslim, ia dicap oleh Allah sebagai kafir. Seyogianya, penyerahan diri kepada Allah menuntut pelaksanaan perintah Allah segera setelah perintah itu dititahkan.
Syekh Abdul Halim Mahmud dalam buku al-Islâm wa al-‘Aql (Islam dan Akal) menulis, "Iblis dikecam dan dikutuk Allah bukan saja karena ia enggan bersujud, melainkan karena ia enggan sujud pada saat diperintah." Dalam Al-Quran disebutkan, "Apa yang menghalangimu bersujud pada saat engkau Kuperintah" (QS. al-A'râf [7]: 12). Demikian kecaman Allah kepadanya. Ini—tulis Abdul Halim Mahmud—dipahami dari kata idz/pada saat, yang digunakan Allah ketika "bertanya". Karena itu, lanjutnya, iblis akan tetap dikecam walaupun seandainya beberapa saat kemudian ia sujud, karena ketika itu ia menangguhkan pelaksanaan perintah Allah, padahal ia mampu melaksanakannya saat ia diperintah. Iblis "saat" diperintah tidak langsung menerima, tetapi mempertimbangkan apakah perintah itu sesuai atau tidak dengan nalarnya, apakah sejalan dengan keinginannya atau tidak. Penundaan itu—walau seandainya dilaksanakan—tidak menunjukkan penyerahan diri secara mutlak kepada Allah swt, padahal keberagamaan adalah istislâm (penyerahan diri secara penuh kepada Allah). Agama atau perintah-perintah Allah tidak diturunkan atau ditetapkan-Nya untuk dipertimbangkan  oleh manusia sehingga yang dikerjakan dan dipercaya hanya yang sesuai dengan nalar dan yang tidak sesuai ditolak. Tidak! Agama, perintah, dan larangan-Nya ditetapkan untuk dipercaya dan dilaksanakan sebagaimana yang diperintahkan oleh-Nya, baik dipahami maupun tidak.
Namun, alangkah baiknya jika keislaman seorang muslim adalah Islam hati dan juga akalnya. Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 208 sebagai berikut:
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Maksud ayat ini, antara lain, adalah menyatukan akal dan hati, jangan berlaku seperti setan yang memisahkan antara hati dan akalnya, serta menyulut peperangan antara perasaan dan pengetahuannya. Pada saat seseorang menyerahkan diri secara fisik, nalar, dan jiwanya kepada Allah dan Rasul, maka pada saat itu pula dia dinamai muslim sejati.

Kerangka Dasar Agama Islam
            Dengan mengikuti sistematik Iman, Islam, dan Ihsan yang berasal dari Nabi Muhammad saw, dapat dikemukakan bahwa kerangka dasar agama Islam terdiri atas:
1. Akidah
2. Syariat
3. Akhlak
    Yang dimaksud dengan akidah, menurut ilmu tentang asal usul kata (etimologi) adalah ikatan, sangkutan. Sedangkan menurut ilmu tentang definisi (terminologi) adalah iman, keyakinan. Karena itu, akidah selalu ditautkan dengan Rukun Iman yang merupakan asas seluruh ajaran Islam.
    Yang dimaksud dengan syariat menurut etimologi adalah jalan yang harus ditempuh. Menurut peristilahan, syariat adalah sistem norma (kaidah) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, mengenai hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Kaidah yang mengatur hubungan langsung manusia dengan Allah disebut kaidah ibadah atau kaidah ‘ubudiyyah yang disebut juga kaidah ibadah murni. Kaidah yang mengatur hubungan manusia selain dengan Allah disebut kaidah muamalah. Disiplin ilmu yang membahas dan menjelaskan syariat disebut ilmu fikih.
    Yang dimaksud dengan akhlak adalah sikap yang menimbulkan perilaku baik dan buruk. Berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap, perilaku, watak, dan budi pekerti.[]

0 komentar: